Thursday, February 17, 2011

Uleebalang Keureuto, Ahli Strategi Perang



Namanya Teuku Cut Muhammad. Dia setia membantu Sultan Muhammad Daud di rimba Pasai bergerilya melawan Belanda. Belanda menembaknya di tiang besi usai insiden Meurandeh Paya.
Teuku Chik Di Tunong dinikahkan dengan Cut Mutia setelah perempuan keturunan Uleebalang Pirak dari Matangkuli ini bercerai dari Teuku Syamsyarif. Cut Mutia tidak menyukai sifat Syamsyarif, abang kandung Teuku Chik Di Tunong, karena akrab dengan Belanda.


Bersama Cut Mutia, Teuku Chik Di Tunong berperang melawan Belanda. Pada Juli 1902 suami istri itu bersama pasukannya menewaskan 8 dari 30 serdadu Belanda yang dipimpin Sersan Stejn Parde. Pada 22 Agustus 1902, Teuku Chik Di Tunong dan istrinya menghadang patroli 20 serdadu Belanda.Tujuh di antaranya tewas dan beberapa pucuk senjata dirampas.


Teuku Chik Di Tunong juga lihai merancang strategi penyerangan. Melalui mata-mata Pang Gadeng pada 25 November 1902, disebarkan berita bahwa Teuku Chik Di Tunong, istri, dan pasukan akan mengadakan kenduri besar di Matang Rayek (Sampoiniet, Baktiya, Aceh Utara).


Mendengar berita itu, Belanda mengirim pasukan yang dipimpin Letnan RDP de Kok. Pasukan ini harus menyusuri sungai agar sampai ke Matang Rayek. Dua pendayung di sungai itu diperintahkan oleh Teuku Chik Di Tunong melubangi perahu yang ditumpangi serdadu Belanda dan menyumbatnya dengan alat yang mudah dicabut.

Di tengah sungai, tanpa diketahui pasukan Belanda, dua pendayung mencabut sumbatan sehingga perahu tenggelam. Teuku Chik Di Tunong yang menunggu di darat menyerang RDP de Kok dan serdadunya, 28 serdadu tewas dan 42 pucuk senjata dirampas.


September 1903, Kapten H.N.A. Swart, selaku Komandan Detasemen Belanda, memanggil Cut Nyak Asiah (ibu angkat Teuku Chik Di Tunong) dan Teuku Chik Bentara agar membujuk Teuku Chik Di Tunong turun gunung. Kalau tidak, Cut Nyak Asiah akan diasingkan ke Subang. Pada 5 Oktober 1903, Teuku Chik Di Tunong bersama pengikutnya melapor pada Swart di Lhokseumawe. Dia diterima menetap di wilayah Keureutoe.


26 Januari 1905 terjadi insiden yang menggemparkan Belanda, yaitu peristiwa Meurandeh Paya. Saat itu 17 serdadu infantri Belanda dipimpin Sersan Vallaers menginap di Meunasah Meurandeh Paya selepas berpatroli.

Di bawah komando Peutua Dolah dan Teuku Chik Di Buah, serdadu diserang pejuang rakyat yang menyaru pedagang buah dan telur ayam, tetapi bersenjata gelewang. Pasukan gelewang dengan cepat naik ke meunasah dan mencincang serdadu Belanda yang tengah beristirahat. Seorang serdadu lolos dan melaporkan kejadian itu ke bivak Lhoksukon. Adapun serdadu penjajah yang tewas dikuburkan di kompleks Gelewang Aanval dan Meurandeh Paya. Kuburan itu menjadi monumen dan bukti sejarah perjuangan rakyat.


Kisah ini dipaparkan Ali Akbar, Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Utara tahun 1987 dalam bukunya Perjuangan Cut Nyak Mutia di Rimba Pasai.

Peristiwa Meurandeh Paya pukulan berat bagi Belanda. Swart memerintahkan Letnan Van Vuuren, serdadu Belanda yang mahir bahasa Aceh, mencari aktor penyerangan itu. Akhirnya diketahui penyerbuan di Meurandeh Paya dirancang Teuku Chik Di Tunong.


5 Maret 1905, Di Tunong ditangkap Van Vuuren dan dipenjarakan di Lhokseumawe selama 20 hari.Teuku Chik Di Tunong dan Teuku Di Buah lalu diputuskan dihukum mati di tiang gantungan. Namun, hukuman itu dibatalkan Gubernur Militer Belanda, Van Daalen, diganti hukuman tembak.

Sebelum dihukum tembak, Chik Di Tunong diberi kesempatan bertemu istrinya Cut Mutia, anaknya Teuku Raja Sabi yang saat itu berusia lima tahun, ibu angkatnya Cut Nyak Asiah, dan abangnya Teuku Chik Bentara. Ia berpesan pada Cut Mutia agar membesarkan Raja Sabi dan menikah dengan Pang Nanggroe untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda.


25 Maret 1905, Teuku Chik Di Tunong dan Teuku Chik Di Buah dibawa ke tepi pantai Kampung Jawa Lama Lhokseumawe. Dengan diikat pada tiang besi, keduanya pun ditembak. Darah patriot bangsa itu pun membasahi tanoh Aceh. Atas permintaan Maharaja Lhokseumawe, keduanya dimakamkan di Desa Mon Geudong.

Makam Teuku Chik Di Tunong dan Teuku Di Buah (Teuku MohdDaud) berada di tengah areal kuburan umum di sebelah meunasah Desa Mon Geudong. Makam itu berkonstruksi megah dipayungi cungkup. Kondisinya terawat lumayan baik.

Namun tiang besi, tempat Di Tunong dan Di Buah dihukum tembak, sudah terpotong. Pangkal tiang itu tertancap persis di Lorong Kokonas (bekas nama Koperasi), Kampung Jawa Lama, Banda Sakti, Lhokseumawe. Letak tiang besi sekitar 50 hingga70 meter dengan pantai.


Menurut Teuku Muhammad Rizal, pemilik rumah di depan tiang itu, ia tidak tahu siapa yang memotong tiang tersebut. “Saat saya masih kecil, tiang ini sudah sependek ini. Padahal, menurut ibu saya, dulu tiang ini tingginya lebih dua meter dan membentuk seperti tiang gantungan,” ujarnya.

Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah dan kebudayaan Islam mengatakan lokasi itu harus diselamatkan. “Diberi tanda dengan membangun monumen karena eksekusi mati itu peristiwa bersejarah,” ujarnya. Pemerintah, kata dia, mestinya mendaftarkan Teuku Chik Di Tunong sebagai pahlawan nasional.


Chik Di Tunong memiliki cucu yang kini menetap di Lhokseumawe, yaitu Cut Zuraida binti Raja Sabi. Adik Cut Zuraida, Teuku Rusli juga masih hidup, tetapi berdomisili di Medan. Adiknya satu lagi, Cut Nursiah, telah meninggal.

Ketiga cucu itu buah pernikahan Raja Sabi dengan Cut Puteh. Cut Zuraida menikah dengan Teuku Hasansyah, anak Teuku Muhammad Syah, adik Cut Mutia.

Setelah Teuku Hasansyah meninggal, Cut Zuraida yang kini berusia 77 tahun tinggal serumah bersama sejumlah anaknya di Desa Hagu Selatan, Banda Sakti, Lhokseumawe. Di ruang tamu rumah itu ada dua foto hitam putih berbingkai. Dalam foto itu tampak Raja Sabi bersama rekan seperjuangan.


Dari delapan anak Cut Zuraida dan almarhum Teuku Hasansyah, hanya satu yang berstatus pegawai negeri sipil. “Yang lainnya tidak punya pekerjaan tetap,” kata Cut Zuraida didampingi salah satu putrinya, Cut Nurlita, 47 tahun.

Kata Cut Zuraida, pemerintah pernah memberinya satu rumah tahun 2010. Rumah itu kemudian ia berikan pada Cut Nurlita yang waktu itu belum memiliki rumah. “Selain satu rumah, belum ada kami terima apa pun dari pemerintah,” kata Cut Zuraida. “Untuk kebutuhan hidup, saya bergantung pada anak”.

AP