Saturday, February 26, 2011

Peudeung Ureueng Aceh



PEDANG merupakan satu dari sekian senjata tajam. Jenis senjata ini sudah sejak lama bahkan tatkala manusia belum mengenal kain. Mulanya pedang digunakan untuk kebutuhan apa saja, termasuk membunuh hewan buruan. Lambat laun, pedang menjadi senjata tajam yang digunakan untuk berperang.



Dalam perjalanannya, pedang kemudian menjadi barang antik dan hiasan, dianggap memiliki sejarah. Beberapa orang membubuhkan sesuatu yang mistik pada pedang yang dimilikinya. Misalkan, pedang peninggalan kerajaan. Pengaruh mistik dapat dianggap ketika tidak sembarang orang dibolehkan menyentuh pedang tersebut, apalagi menggunakannya.




Orang Aceh menyebut pedang dengan peudeung. Sedikit beda fungsi dengan rincong yang digunakan untuk menikam, peudeung digunakan untuk membabat musuh tatkala berperang, termasuk menetak dan mencincang.



Aceh pernah ditabalkan sebagai negeri alam peedueng. Bahkan, tatkala Aceh jaya dari sisi ekonomi dan pertahanan kerajaan, bendera Aceh ketika itu diberi simbol peudeung, yang sedikit mirip dengan bendera Turki. Hal ini ternukil pula dalam sebuah hadih maja, “Di Aceh na alam peudeung/ Cap sikureung bak jaroe raj/, Phôn di Aceh trôh u Pahang/ Tan soe teuntang Iskandar Muda”.



Di Aceh, ada beberapa jenis peudeung. Dilihat dari asal munculnya, dikenal Peudeung Habsyah (dari Negara Abbesinia), Peudeung Portugis (dari Eropa Barat), Peudeung Turki (dari raja-raja Turki). Peudeung-peudeung ini kemudian dianggap sebagai senjata tradisional di Aceh.




Berdasarkan mata pedang, tersebut pula beberapa jenis peudeung. Ada Peudeung Ôn Teubèe, ini untuk sejenis pedang yang bilah atau matanya menyerupai daun tebu. Disebut demikian karena bilahnya tipis dan melengkung. Runcing pada ujungnya. Pedang ini dibuat sedemikian rupa, panjangnya kira-kira 100 sentimeter, (sudah termasuk gagang). Peudeung ini umumnya terbuat dari besi.



Berikutnya ada Peudeng Ôn Jôk. Sesuai namanya, peudeung ini menyerupai daun ijuk atau enau atau daun nira. Bentuknya lebih kasar dan tebal dibanding Peudeung Ôn Teubee. Ukurannya pun lebih sedikit pendek dari Peudeung Ôn Teubee.




Peudeung Aceh juga dapat dibedakan berdasarkan bentuk gagangnya. Tersebut Peudeung Tumpang Jingki, yang gagangnya seperti mulut sedang terbuka, seakan-akan dapat menahan sandaran benda lain di atasnya. Gagang pedang ini berasal dari tanduk hewan dan bilahnya dari besi. Panjang keseluruhannya mencapai 70 sentimeter.



Hampir mirip dengan Peudeung Tumpang Jingki, ada Peudeung Tumpang Beunteung. Jenis ini lazim disebut oleh masyarakat Pidie. Adapun bagi masyarakat Peusangan, jenis peudang ini disebut dengan Peudeueng Peusangan.



Jenis berikutnya adalah Peudeung Ulee Meu-apét. Pada gagang pedang ini terdapat apét atau penahan agar tidak mudah terlepas. Peudeung ini jarang digunakan, karena dianggap memiliki kekuatan magis. Ada kesan pedang ini pantang dikeluarkan sembarang tempat dan sembarang waktu.




Ada pula pedang yang gagangnya menyerupai telapak kuda. Jenis ini dinamakan Peudeueng Ulee Tapak Guda. Sudah tentu gagangnya terbuat dari tanduk dan bilahnya dari besi. Panjang peudeung ini mencapai 72 sentimeter. Ada juga peudeung yang gagangnya menyerupai ekor kucing, disebut Peudeung Ulee Iku Mie.



Di samping itu, ada jenis Peudeung Ulee Iku Itek, karena gagangnya menyerupai ekor bebek, Peudeung Ulee Babah Buya, yang gagangnya seperti mulut buaya, Peudeung Lapan Sagoe dengan gagangnya bersegi delapan.



Jenis peudeung yang mahsyur dalam masyarakat Aceh adalah Peudeung Zulpaka. Pedang ini kerap muncul dalam cerita orang tua-orang tua di Aceh, terutama dalam bentuk hikayat dan nazam Aceh. Diceritakan bahwa pedang ini memiliki kekuatan mistik yang tinggi dan dahsyat. Peudeung ini dianggap berasal dari Saidina Ali.




Seperti diriwayatkan, Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabat nabi sekaligus khalifah yang terkenal gagah berani memainkan pedang. Pedang Ali, dalam banyak riwayat disebutkan bermata dua, yang membuat kaum kafir Quraisy selalu gentar mendengar nama Ali.



Selain pedang-pedang di atas, dalam sebuah hikayat Aceh, tersebut pula Peudeung Manyak Payét. Peudeung ini juga tidak kalah mistiknya. Dalam hikayat dangderia dikisahkan Peudeung Manyak Payét sebagai rajanya besi sehingga jika sudah dibangunkan mistik Peudeng Manyak Payét, besi-besi (pedang) lain tidak lagi berdaya, menjadi lembek.



Ada mantra tertentu yang harus dibacakan saat membangunkan kekuatan Peudeung Manyak Payet. Di antaranya, harus mengetahui seluk-beluk pedang tersebut. Misal, bak pucok na alif lam, bak uram na ulee naga...dst. Kini, pedang-pedang tersebut menjadi perhiasan bagi ureueng Aceh, yang dilekatkan pada dinding rumah dan dimuseumkan.

[]dbs