Saturday, February 26, 2011

Tentang Konflik Rwanda




sumber gambar : http://static.guim.co.uk/sys-images/Guardian/Pix/pictures/2010/8/26/1282851634761/Hutu-refugees-at-UN-s-Gom-006.jpg



Akar Konflik dan Aktor yang Terlibat


Rwanda adalah salah satu negara yang berada di benua Afrika, dan negara yang penduduknya berkulit hitam ini memiliki sebuah sejarah yang tidak akan pernah dilupakan Rwanda, bahkan dunia pun tidak akan melupaknnya. Konflik ini menyebabkan terjadinya genosida terhadap suku lain yang dilakukan salah satu suku di Rwanda, yang memakan banyak sekali korban.

Konflik yang terjadi di Rwanda bukanlah konflik yang begitu saja terjadi hanya dikarenakan kecemburuan sosial, ketimpangan ekonomi, atau semata–mata adanya rasa superior yang dimiliki oleh salah satu suku yang ada di Rwanda. Konflik dan gesekan yang terjadi antara dua suku ini sudah berakar dimulai dari saat mereka dijajah oleh Belgia.


Permulaan adalah saat Belgia menjadi penguasa di Rwanda, di mana dari masalah inilah yang menyebabkan konflik di Rwanda terjadi, dan benar – benar tak terlupakan. Saat itu, Belgia menstratifikasi atau membeda–bedakan suku Hutu, Tutsi dan juga sekelompok suku kecil yaitu Twa. Belgia membuat Tutsi, sebagai suku minoritas dibandingkan Hutu, menjadi suku yang lebih superior. Mereka diberikan kewenangan untuk berkuasa dan memerintah. Belgia memilih Tutsi karena dari sudut pandang Belgia, Tutsi terlihat lebih ‘Eropa’ secara fisik untuk mereka.

Saat itu Twa tidak diperhitungkan karena sukunya yang sangat sedikit. Akhirnya semasa Belgia menjajah Rwanda, Tutsilah yang memegang kekuasaan. Sedangkan Hutu sebagai suku mayoritas tidak diberi kesempatan untuk memerintah. Hal ini berjalan cukup lama dan dapat dipastikan bibit kecemburuan sosial mulai tumbuh di hati para Hutu melihat Tutsi sebagai minoritas dapat meguasai Rwanda.

Akhirnya pada masa dekolonisasi Belgia meninggalkan Rwanda. Saat Belgia hendak meninggalkan Rwanda, Belgia malah memberikan kekuasaan kepada Hutu. Tentu saja keputusan ini sangat mengejutkan Tutsi yang telah begitu lama memiliki kekuasaan di Rwanda. Tentunya Hutu sangat gembira dengan keputusan Belgia, dan mereka mengambil alih kekuasaan di Rwanda. Pada 1961, terjadilah Hutu Revolution. Saat pemilu, pemerintahan sudah didominasi oleh Hutu, hingga akhirnya Hutu terus menguasai pemerintahan Rwanda.[1]

Masa dekolonisasi membawa Tutsi pelan-pelan terpinggirkan dari Rwanda, karena Rwanda telah didominasi oleh Hutu. Hal ini membuat Tutsi harus mengungsi ke negara–negara tetangga sekitar Rwanda. Pada 1990, suku Tutsi membentuk RPF (Rwanda Patriotic Front), yang dipimpin oleh Paul Kagame. Mereka adalah sebuah kelompok militer yang terlatih untuk merebut kekuasaan dari Hutu yang terus mendominasi Rwanda.

Pada 1990 mereka menginvasi Rwanda dan meminta posisi dalam pemerintahan. Namun Rwanda masih menolaknya. Pada 1993, Juvenal Habyarimana yaitu Presiden Rwanda dari kalangan Hutu yang saat itu berkuasa ingin memberikan posisi bagi para Tutsi serta melakukan perjanjian perdamaian.[2] Usaha ini dilakukan oleh Presiden dalam rangka pertanggung jawabannya terhadap keadaan Rwanda, dan juga tuntutan dari RPF yang membuat Presiden perlu mempertimbangkan nasib para Tutsi yang juga merupakan bagian dari Rwanda.

RPF yang dipimpin oleh Paul Kagame menyerang Rwanda dan meminta dibentuknya perjanjian demi tuntutan mereka mendapatkan bagian dalam pemerintahan. Mereka meminta dibentuknya Arusha Accords, yaitu perjanjian di mana Presiden akan memberikan kesempatan dan juga tempat untuk orang Tutsi memiliki posisi dalam pemerintahan. Namun para Hutu ekstrimis yang sangat anti kepada Tutsi menolak kebijakan itu mentah-mentah dan sama sekali tidak menginginkan adanya Tutsi di dalam pemerintahan.

Pada kenyataannya perjanjian ini tidak terimplementasi dengan baik. Akhirnya pada saat Presiden Juvenal Habyarimana terbunuh saat pesawatnya melintasi Kigali pada 6 April 1994, ini menjadi sebuah momentum bagi Hutu ekstrimis dan menjadikannya alasan untuk menyerang para Tutsi dan Hutu moderat yang memang berlawanan dengan Hutu.[3]


Peristiwa kematian Presiden Habyarimana ini memang menjadi momentum besar bagi para Hutu ekstrimis. Tetapi ada pula kemungkinan bahwa peristiwa ini sengaja dilakukan oleh para Hutu ekstrimis demi melancarkan rencana mereka membantai suku Tutsi.[4]

Pembantaian suku Tutsi oleh suku Hutu dimulai. Terbunuhnya Presiden menjadikan Rwanda seketika menjadi horor untuk para Tutsi yang dituduh telah merekayasa pembunuhan Presiden, namun sampai kasus ini selesai ternyata tidak bisa dibuktikan bahwa pembunuhan itu adalah perbuatan Tutsi. Pembantaian dilakukan oleh para Hutu sekitar 100 hari.

Pembantain tersebut dipermudah dengan salah satu bentuk diskriminasi yang dibentuk saat Hutu berkuasa yaitu kartu penduduk yang mencantumkan identitas suku penduduk (siapa yang merupakan suku Tutsi akan mendapatkan kesulitan dalam pekerjaan, pendidikan, dan lain lain). Para Hutu memblok setiap jalan dan memeriksa orang–orang yang lewat dan membunuh setiap Tutsi yang mereka temukan.

Jumlah korban diperkirakan sekitar 800.000 orang[5], dibunuh dengan brutal dengan golok atau alat–alat pertanian lain oleh para Hutu ekstrimis, bahkan pembunuhan yang mereka lakukan tidak segan – segan dilakukan di gereja.[6]

Keadaaan Rwanda pada saat itu memang benar–benar memprihatinkan. Keadaan ini awalnya memang tidak didiamkan saja oleh kalangan internasional. PBB pun akhirnya turun tangan untuk mengatasi masalah ini. Salah satu Jenderal bernama Romeo Dallaire pun dikirim dengan beberapa pasukan oleh PBB untuk membantu meredam konflik Rwanda. Berikut adalah kutipan yang menjelaskan misi PBB di Rwanda:

“The UN was in a position to curtail at least some of the bloodshed, given its advance warning from Dallaire of the planned massacres and the presence in Rwanda of a peacekeeping contingent under his command. The peacekeepers were sent months earlier to safeguard a peace agreements between the Hutu government and the Tutsi –led RPF Rebels. But at the start of genocide, following the murder of ten Belgian peacekeepers, the Security Council ordered the removal of the most of the UN peacekeeping force. Dallaire’s remaining peacekeepers saved some live but, abandoned by the UN and the international community, they were essentially helpless in the face of the Hutu’s extremists lethal efficiency.”[7]


Selain suku Tutsi dan juga Hutu, dapat kita lihat bahwa PBB juga menjadi aktor yang terlibat di dalam konflik ini.

Teori Konflik

Konflik yang terjadi di Rwanda dapat dikategorikan kedalam konflik etnis. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbedaan definisi antara ras dan etnis, sebagai berikut.

1. Ras adalah kelompok manusia yang dicirikan oleh kondisi biologis tertentu seperti kemiripan fisik, warna kulit, dan struktur genetis.

2. Sedangkan etnis adalah kelomok orang yang dibedakan oleh kebudayaannya. Etnis merujuk pada ciri kultural, seperti cara pikir, sistem nilai, ritual, dan bahasa.

Terdapat beberapa pendapat dari para ahli mengenai faktor yang dapat menyebabkan konflik. Menurut Donald L. Horowitz adalah :


“Ethnic conflict is the result of an extraordinary presence of traditional antipathies so strong that they can survive even the powerful solvent of modernization”.[8]

Menurut Edward Azar terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya konflik internal :

1. Konflik dipicu karena hubungan yang tidak harmonis antara kelompok identitas seperti suku, agama, dan budaya tertentu dengan negara maupun dengan kelompok yang berbeda itu sendiri.

2. Konflik dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah telah gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi proses pemiskinan secara sistematis.

3. Karakter pemerintahan yang otoriter dan mengabaikan aspirasi akar rumput.


4. International linkages yaitu suatu sistem ketergantungan yang terjadi antara suatu negara dengan sistem ekonomi global, dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memihak kekuatan modal asing daripada kepada penduduk lokal.[9]

Teori yang tepat untuk digunakan dalam konflik yang terjadi di Rwanda adalah teori kebutuhan manusia dan teori transformasi konflik.

1. Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam dan disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik secara fisik, mental, ekonomi dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi seringkali menjadi inti pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai dari teori ini adalah :

a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

b. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan secara adil untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.


2. Teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial budaya, politik dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai dari teori ini adalah :

a. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan , termasuk kesenjangan ekonomi.

b. Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang diantara pihak-pihak yang mengalami konflik.

c. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan. [10]


Dimensi Internasional dan Resolusi Konflik

Di dalam konflik yang terjadi di Rwanda, tentu ada aspek dimensi internasional di mana komunitas internasional turut berperan dalam usaha meredam konflik tersebut. Seperti yang telah dijabarkan di atas, PBB sebagai organisasi internasional telah mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Rwanda.

PBB membentuk pasukan dengan misi menjaga perdamaian di Rwanda. Misi ini bernama United Nations Assistance Mission for Rwanda, atau biasa disebut UNAMIR. UNAMIR dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 872 (1993) pada 5 Oktober 1993 untuk membantu mengimplementasikan perjanjian Arusha. Mandat UNAMIR adalah:

“. . . to assist in ensuring the security of the capital city of Kigali; monitor the ceasefire agreement, including establishment of an expanded demilitarized zone and demobilization procedures; monitor the security situation during the final period of the transitional Government’s mandate leading up to elections; assist with mine-clearance; and assist in the coordination of humanitarian assistance activities in conjunction with relief operations.”[11]

Dari kutipan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa misi UNAMIR hanya sebatas membantu (assist) menjaga perdamaian di Rwanda, dan mengawasi (monitor) keamanan Rwanda. UNAMIR sendiri dipimpin oleh Letnan Jenderal Romeo Dallaire.

Di awal misi ini terbentuk ada sekitar 400 pasukan Belgia yang terlibat, walaupun Rwanda merupakan bekas jajahan Belgia, dan PBB biasanya melarang bekas penjajah terlibat di dalam misi perdamaian. Pada akhirnya, Belgia menarik pasukannnya setelah 10 anggota pasukan perdamaian di bawah UNAMIR terbunuh ketika melindungi Perdana Menteri Rwanda.

Namun, misi perdamaian ini dianggap gagal, karena tidak dapat mencegah terjadinya genosida dan jatuhnya korban jiwa di Rwanda. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 912 dan mengurangi jumlah personel UNAMIR menjadi 270 personel.[12] Dallaire sebagai pemimpin pasukan UNAMIR terus berusaha untuk menjaga perdamaian di Rwanda walaupun dengan keterbatasan personel dan logistik. Dallaire sendiri juga telah meminta tambahan personel, tetapi permintaan ini ditolak.


Pihak internasional, dalam hal ini DK PBB tampak menunjukkan keengganan untuk membantu penduduk Rwanda yang terancam. Pasukan UNAMIR sendiri hanya memiliki jatah makanan untuk jangka waktu dua minggu, persediaan air hanya untuk satu atau dua hari, dan bahan bakar untuk dua atau tiga hari. Persediaan amunisi dan medis pun sangat terbatas.[13]

PBB dan negara-negara lainnya seperti Amerika Serikat dan Perancis hanya mendukung evakuasi warga asing dari Rwanda, tapi tidak berusaha untuk menyelamatkan penduduk Rwanda yang sedang terancam.

Genosida ini berakhir ketika RPF berhasil mengambilalih ibukota Rwanda yaitu Kigali pada Juli 1994. Tentara Perancis yang dikirim ke Rwanda juga berhasil membuat zona aman di bagian barat daya Rwanda. 17 Juli 1994, RPF mengalahkan pemerintahan Rwanda dan menyatakan akhir perang.[14]

PBB berusaha untuk “membayar” kegagalannya di Rwanda dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional [Internationan Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)] melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. S/RES/955 tahun 1994. ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang Rwanda di negara-negara tetangga selama tahun 1994.[15]


Berdasarkan resolusi 977 pada 22 Februari 1995, DK PBB menetapkan lokasi ICTR di Arusha, Tanzania.[16] Dari berbagai resolusi, DK PBB menargetkan ICTR untuk menyelesaikan seluruh investigasi pada akhir 2004, menyelesaikan seluruh aktivitas pengadilan pada akhir 2008, dan menyelesaikan seluruh kegiatan pada 2012.[17]

Sejauh ini, ICTR telah meyelesaikan 55 kasus, termasuk di dalamnya 9 kasus naik banding dan 8 dibebaskan. 20 kasus masih dalam proses, 2 kasus dialihkan kepada yurisdiksi nasional, 2 terdakwa meninggal sebelum keputusan pengadilan keluar, dan 1 yang sedang menanti pengadilan.[18]

Kesimpulan

Dengan melihat konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk kolonialisasi yang tidak terarah seperti yang dilakukan Belgia hanya akan meninggalkan bekas luka di dalam hati dan kehidupan suku Hutu sehingga memicu timbulnya perpecahan.

Sebagai sesama manusia kita memiliki banyak kekurangan dan juga kelebihan yang telah diberikan oleh Tuhan. Tidak ada manusia yang sempurna untuk itu klasifikasi, diversivikasi, dan stratifikasi terhadap suatu kelompok etnis, ataupun ras, adalah hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan di dalam kehidupan bersosial umat manusia. Hal tersebut hanya akan menjadikan api dalam sekam yang suatu saat akan meledak ke berbagai arah.


Dalam konflik etnis di Rwanda, seharusnya dari awal Hutu dan Tutsi saling bekerjasama dalam mencapai kesejahteraan hidup. Walaupun Belgia datang untuk menjajah dan membuat kecemburuan sosial, dengan iming-iming membantu memajukan Rwanda, namun seharusnya mereka tetap saling bersama. Belgia sengaja mengadudomba keduanya agar terjadi perpecahan di Rwanda, sehingga Belgia dapat menguasai wilayahnya.

Namun di saat genosida berlangsung, seharusnya kedua etnis ini berpikir, bahwa kejadian masa lampau tidak baik untuk diingat di masa mendatang, karena faktanya warga-warga tak berdosa pun ikut menjadi korban atas tindakan genosida tersebut. Seharusnya mereka malu terhadap dunia internasional, dan sebaiknya mereka saling bergotong-royong untuk membangun perdamaian di antaranya agar keduanya saling sejahtera dan saling menguntungkan.

Dilihat dari peran komunitas internasional dalam konflik Rwanda ini, PBB yang merupakan organisasi internasional yang berperan penting dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia, seharusnya lebih bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan konflik ini. Namun PBB terlihat tidak sungguh-sungguh dan kurang tegas dalam membuat keputusan, terutama dalam pengiriman pasukan perdamaian PBB ke Rwanda.


Seharusnya negara yang tergabung dalam PBB, khususnya anggota tetap Dewan Keamanan PBB, mampu bekerjasama dan mengesampingkan unsur kepentingan masing-masing dalam penyelesaian konflik di Rwanda ini. Namun faktanya, pembantaian massal ini tidak mendapatkan perhatian dari Belgia, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Padahal masalah ini merupakan pelanggaran HAM, seperti yang sering dikemukakan di forum internasional. Ini menunjukkan bahwa PBB hanya seperti wadah kepentingan negara-negara maju.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

- Azar, Edward. 1990. The Management of Protracted Social Conflict: Theory and Cases. Aldershot: Dartmouth.


- Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik : Keterampilan, dan Strategi untuk Bertindak. The British Council.

- Horowitz, Donald L. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley: University of California Press.

- Peskin, Victor. 2008. International Justice in Rwanda and The Balkans. New York: Cambridge University Press.


- Pottier, Johan. 2002. Re-imagining Rwanda: Conflict, Survival and Disinformation in the Late Twentieth Century. New York: Cambridge University Press.

- Schabas, William A. 2006. The UN International Criminal Tribunals: The Former Yugoslavia, Rwanda and Sierra Leone. New York: Cambridge University Press.

Internet:


- http://www.hrw.org/legacy/reports/1999/rwanda/

- http://www.unhcr.og/publ/PUBL/3ebfgbb60.pdf

- http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-13431486

- http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirM.htm

- http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unamirS.htm


- http://americanradioworks.publicradio.org/features/justiceontrial/rwanda_chronology.html

- http://www.survivors-fund.org.uk/assets/docs/education/historical-chronology.pdf

- http://www.unictr.org/AboutICTR/GeneralInformation/tabid/101/Default.aspx

- http://www.undemocracy.com/S-RES-1824%282008%29/page_1/rect_184,654_830,862

- http://www.unictr.org/Cases/tabid/204/Default.aspx

EE