Sunday, February 20, 2011

The Sword Of God: Rambut Sang Nabi Inspirator “Undefeated Man”!

Dalam perang yang terjadi pada 7 Syawwal 3 Hijriah bertepatan pada tanggal 22 Maret 625 Masehi di bukit Uhud,terletak 5 mil dari Madinah, fihak Muslim dipimpin langsung oleh Nabi dengan 700 pasukan infanteri dan 2 Kavalry sedangkan di fihak Qurays dipimpin oleh Abu Sufyan dengan 3000 pasukan infanteri dan 200 kavalry. Babak awal peperangan , fihak Muslim dapat mengontrol jalannya peperangan namun malapetaka tiba tatkala para perempuan Qurays menyingkapkan baju-baju mereka dan memperlihatkan emas dan gelang ke arah tentara Islam dan mereka mengabaikan Perintah Nabi Muhammad untuk tidak meninggalkan tempat yang telah ditetapkan oleh Nabi. Mereka tergoda oleh kecohan wanita Qurays dan meninggalkan posisi-posisi kunci yang dapat mengontrol kekuatan musuh. Celah ini dilihat oleh Khalid Bin Walid sebagai suatu pintu untuk memukul kekuatan Muslim dan bahkan bisa menghancurkannya. Benar saja Banyak syuhada di fihak muslim akibat tebasan pedang Khalid bin Walid dan ketika sudah sampai di atas bukit yang ditinggalkan oleh grup pemanah, Khalid dengan lantang berkata: ” Hai Muhammad kami sudah Menang, kamu telah kalah dalam peperangan ini….lihatlah pamanmu Hamzah yang tewas tercabik cabik tubuhnya dan lihatlah pasukanmu yang telah porak poranda” Nabi dengan tenang menjawab: “Tidak aku yang menang dan engkau yang kalah Khalid …Mereka yang gugur adalah Syahid , sebenarnya mereka tidak mati wahai Khalid mereka hidupdisisi Alloh SWT penuh dengan kemuliaan dan kenikmatan , mereka telah berhasil pindah alam dari dunia menuju akherat menuju surga Alloh karena membela Agama Alloh gugur sebagai syuhada akan tetapi Matinya tentaramu , matinya sebagai Kafir dan dimasukkan ke Neraka Jahannam. ” Rupanya jawaban tenang ini telah menggema di sudut hati Khalid yang menyebabkan dia merasa resah. Namun karna kesibukannya masing -masing , ingatan tersebut dibiarkannya tersimpan di hatinya sampai perang Khandaq yang terjadi 2 tahun kemudian yakni 627 Masehi yang menjadi perang terakhir bagi Khalid sebagai musuh Nabi dan Islam. Pada tahun 629 Masehi , didesak keresahan yang memuncak akhirnya dia memutuskan untuk menemui langsung sang Nabi setelah menyusupkan mata-mata ke dalam masyarakat Muslim Madinah. Karna bertopeng dan menggunakan baju kebesaran yang berkancing emas dan bertahta berlian, Ali bin Abi Thalib mencurigai tindak tanduk penunggang kuda ini dan menyuruhnya untuk melepaskan topengnya dan menjelaskan tujuan kedatangannya. ” Aku kemari punya Niat baik untuk bertemu Muhammad dan menyatakan diriku masuk Islam” Jelas Khalid kepada Ali Bin Abi Tholib yang disambut oleh Ali dengan wajah berseri-seri setelah beberapa saat ditawan ketegangan yang timbul dari sinar kharisma Khalid Bin Walid telah merasuki jiwanya saat wajah kharismatik itu tersingkap dari balik topengnya. Niat ini disambut dengan suka cita oleh Nabi yang secara spontan membentangkan sorbannya di atas tanah sebagai penghormatan kepadanya meski masuknya Islamnya berkah doa beliau yang dikabulkan oleh Allah namun sebagai manusia beliau tetap memperlihatkan sisi-sisi kemanusiaan. Khalidpun memeluk Rasulullah dan mengutarakan niat Islamnya kemudian atas arahan Nabi Khalid mengucapkan Syahadat. Selesei bersyahadat Khalid menyerahkan Mahkota bertahta berlian dan baju perang berkancing emas sampai ketika Khalid akan menyerahkan pedangnya…Nabi menahannya sambil mengisyaratkan ramalan jalan hidupnya. ” Jangan kau lepaskan pedang itu Khalid , karena dengan pedang itu nanti kamu akan berjuang membela agama Alloh bersamaku ” Nabi menjelaskan alasan penolakan pedang tersebut serta menamai dengan “saifullah” atau “pedang Allah” atau “The Sword of God“. Beberapa bulan setelah keislamannya, duta dakwah yang dikirim Nabi ke luar Jazirah Arab dibunuh di dua tempat berbeda : al-Harits bin Umair al-‘Azdi dipenggal kepalanya di hadapan Heraklius dan utusan kepada Banu Sulayman dan Dhat al Talh daerah disekitar negeri Syam(Irak) juga dibunuh oleh penguasa sekitar. Peristiwa ini sungguh menyedihkan hati Rasullullah dan memerintahkan untuk melakukan penyerangan dengan menunjuk tiga orang sahabat terbaik beliau: 1. Ja’far bin Abu Tholib 2. Zaid Bin Harits dan 3. Abdullah bin Rawahah, seorang penyair Rasulullah. Nabi menginstruksikan agar jika pemimpin satunya terbunuh hendaknya diganti oleh orang-orang yang telah ditunjuk oleh Nabi. Adalah Mu’tah yang tempat pertemuan dua tentara yang berbeda ideologi dan agama ini, pasukan Muslim hanya didukung oleh 3.000 personil melawan aliansi antara Adidaya Romawi yang berkekuatan 100.000 personel ditambah oleh Arab Nashrani yang berjumlah serupa yakni 100.000. Jadi secara statistik perbandingan setiap satu tentara Muslim akan menghadapi 66.6 tentara Aliansi ini. Sungguh perbandingan yang timpang dan gambaran ‘face to face’ antara David Vs Goliath yang tak tertandingi dalam hal jumlah dan getaran semangat yang memuncak sepanjang masa. Apalagi persenjataan pasukan Aliansi ini lebih modern dan maju dari yang dimiliki oleh pasukan Muslim sertaditunjang oleh pasukan reguler yang terlatih. Pada awalnya pasukan Muslim ragu dan sempat terbersit meminta tambahan pasukan sampai sang penyair Nabi , Abdullah bin Rawahah mengobarkan semangat perang yang memompa kembali semangat yang sempat surut melihat pasukan musuh yang begitu besar. Zaid bin Haritsah memimpin pasukan Muslim terlebih dahulu dan merangsek ke kumpulan pasukan Aliansi namun setelah kudanya terkena tombak dan jatuh tersungkur maka Zaid menemui kesyahidan. Kemudian tampuk kepemimpinan pasukan Muslim dipegang oleh Ja’far bin Abi Tholib. Tangan kanan ja’far yang memegangi bendera tertebas pedang musuh dan Ja’far mengambil bendera dengan tangan kirinya yang sekejap kemudian sudah tertebas oleh pedang musuh. Giliran Ja’far merangkul bendera dengan tubuhnya yang tidak bertangan namun tak berapa lama karna lautan musuh telah menerjangnya dengan ganas, Ja’far menemui kesyahidan dengan kurang lebih 90 tusukan di tubuhnya. Dengan sigap,Abdullah bin Rawahah menyongsong bendera yang ditinggal ‘pergi’ Sang komandan menuju kesyahidannya,namun , tak lama kemudian Abdullah bin rawahah menyusul Ja’far bin Abi Tholib. Ke tiga orang rekomendasi sang Nabi telah habis dan bendera jatuh tak bertuan lagi, Tsabit bin Arqam mengambil bendera itu secepat kilat dan mengumumkan agar segera ditunjuk pengganti dan syukurlah dalam masa genting itu pilihan jatuh pada sang “saifullah” atau “the sword of God”,Khalid bin Walid. Tak membuang waktu Khalid segera menyusun taktik dan strategi, Diputarnya Pasukan penyerang lini depan ke belakang dan begitu pula sebaliknya, kemudian sayap kiri juga digilir menjadi sayap kanan dan begitu pula sebaliknya. Tujuannuya adalah untuk mengacak memori fihak lawan, dengan bergantinya lini depan maka seakan -akan ada bala bantuan yang datang, padahal wajah baru tersebut adalah orang yang beberapa saat yang lalu berada di garis belakang. sejurus kemudian dengan jeli dia memilih densus kecil untuk keluar dari barisan pasukan inti dan mundur beberapa mil jauhnya dari pasukan inti untuk melakukan gerakan stagnan dengan Kavaleri di ujung bukit di belakang pasukan Muslim. Hentakan kaki-kaki kuda kavalery tersebut menyemburkan debu ke angkasa yang menjadi kamuflase seakan-akan bala bantuan telah datang di fihak Muslim. Atas izin Allah, taktik ini menimbulkan kepanikan di fihak pasukan Aliansi Romawi dan Arab. Dalam benak mereka menghadapi pasukan yang berjumlah 3.000 saja sudah cukup merepotkan apalagi dengan bala bantuan yang kelihatan cukup banyak di ufuk belakang pasukan Muslim. Tak diduga sebelumnya, Pasukan Aliansi ini memutuskan untuk mundur dari medan peperangan yang dilihat oleh Khalid sebagai kesempatan untuk menyelamatkan pasukan Muslim dari amukan raksasa pasukan Aliansi yang tak imbang dalam hal jumlah dan persenjataan. Inilah kelebihan Khalid bin Walid, dapat mengontrol emosi dan tidak merasa diatas angin untuk mengejar pasukan musuh yang kehilangan kepercayaan diri dan menggunakannya untuk menarik pasukan Muslim menuju Madinah. Banyak sejarawan yang takjub dengan perang Mu’tah ini salah satunya adalah Ibnu Katsir yang menilai kemenangan di fihak Muslim. Bayangkan korban jatuh di fihak Romawi menurut estimasi modern mencapai 20.000 orang sedangkan dalam fihak Muslim hanya mencapai belasan orang. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarawan dalam jumlah korban di fihak Muslim namun mereka satu pendapat bahwa jumlah tersebut tidak menyentuh angka dua puluhan. Namun dua sejarawan Muslim lainnya yakni Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam menilai perang ini imbang. Dalam perang ini , Khalid kehilangan sembilan pedang dan menyisakan satu pedang “made in”Yaman. Pada tahun berikutnya, Nabi menunjuk Khalid menjadi Komandan salah satu dari empat divisi untuk menaklukkan Makkah dan hanya pasukan dibawah kepemimpinannnya yang menghadapi perlawanan dari tentara Qurays. Seterusnya peperangan juga diikuti oleh Khalid berturut-turut Perang Hunain dan perang Tabuk. Kemudian ditahun 631 Masehi, Khalid bin Walid ikut serta bersama Nabi dalam haji Wada’ . Dalam momen yang penuh dengan emosi ini Khalid sempat mengumpulkan rambut Nabi Muhammad , seorang yang sangat dia cintai. Rambut inilah yang menjadi inspirator bagi kemenangan-kemenangan peperangan yagn dipimpinnya dan tak satupun dikalahkan. Ketika tampuk kepemimpinan Khulafaurrasyidin di bawah Umar Bin Khottob, beliau melihat bahwa pasukan Muslimin sudah mengidolakan Khalid bin Walid secara berlebihan dan Umar takut keadaan ini menjadikan suatu anggapan bahwa Khalidlah yang menciptakan kemenangan demi kemenangan selain Allah. Umar pun memecat Khalid ketika perang Yarmouk yang dipimpinnya masih berkecamuk. Untuk menghindari turunnya moral pasukan, surat ini dirahasiakan sampai seleseinya perang. Namun sebab pemecatannya masihlah absurd yang boleh jadi dipicu oleh rivalitas kedua sepupu di masa lalu dan marahnya Umar ketika Khalid menikahi istri Malik yang cantik setelah mengeksekusi mati suaminya di zaman Abu Bakar, pendahulu Umar. Khalidpun dipanggil ke Madinah, dengan nada kesal bercampur amarah dia menanyakan sebab pemberhentiannya yang dijawab oleh Umar: “Apa yang telah anda telah lakukan dan tidak ada seorang pun yang melakukan seperti yang anda lakukan. Tapi ini bukan tentang orang yang melakukan, Allah-lah yang melakukan….“ Kurang dari empat tahun setelah pemecatannya sebagai seorang Komandan, Khalid meninggal dan dikuburkan di Emesa atau homs dalam bahasa Arab. Di nisannya terukir 50 kemenangan pasukan yang dipimpinnya dan tak sekalipun Khalid dikalahkan oleh musuh, jumlah tersebut belum termasuk perang-perang kecil. Cita-cita sebagai seorang syahid di medan perang dipupus oleh Allah.Untuk membuktikan bahwa Allahlah yang Maha Besar.Allah memanggilnya tidak sebagai seorang syahid di medan perang namun sebagai orang biasa yang seakan tidak pernah bertemu dengan tombak dan pedang musuh. Menjelang saat-saat akhir hayatnya ,dia seakan mengungkapkan rasa kecewanya pada “Tuhan” karna niatnya menjadi Syahid tidak dikabulkan.Dengan apik dia memanjatkan syair : “Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari Kesyahidan, tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki bekas luka tusuk tombak, pedang atau belati, namun inilah aku, mati di tempat tidur seperti unta tua mati. Semoga mata para pengecut tidak pernah tidur.” The End Narasi

Nurkholis