Thursday, February 17, 2011

Syahid Lapan, Amuk Guru Ngaji Pembunuh Marsose


Bersenjata pedang, para pejuang Aceh di Simpang Mamplam membunuh puluhan serdadu Marsose. Delapan orang syahid dan dikubur sebagai syuhada. Kuburannya kini disinggahi para pelintas jalan.

Menjelang sore di pertengahan 1902, 24 serdadu Korps Marechaussee te Voet atau Marsose tiba di lereng Bukit Simpang Mamplam, puluhan meter dari Cot Batee Geulungku. Mereka menuju Jeunieb dengan berjalan kaki dari tangsi Samalanga. Jarak Samalanga ke Jeunib sekitar 20 kilometer.

Kabar itu hinggap ke telinga para pejuang Aceh di Simpang Mamplam. Maka, disiapkanlah strategi penghadangan. Para pejuang ini tidak tergabung dalam unit pasukan perang kala itu. Mereka hanya warga biasa. Sebagian guru pengajian di meunasah.

Para pejuang geram dengan kehadiran Marsose di Aceh. Bagi mereka, Belanda adalah kaphé (kafir) penjajah yang harus diusir. Sekitar 20 pejuang menyebar di kiri kanan jalan dalam hutan lebat dengan pedang terhunus. Marsose tak menyadari bakal ada penghadangan. Posisi bedil mereka tak siaga, hanya menggantung di bahu.

Lalu, meletuplah peperangan. Dengan mudah para pejuang menyikat nyawa seluruh Marsose. Bedil-bedil dikumpulkan. Entah mengapa, para pejuang tidak lekas meninggalkan lokasi pertempuran.


Sementara itu, Marsose di tangsi Jeunieb, yang was-was menunggu rekan mereka tak kunjung sampai, menyusul ke Samalanga. Setiba di Simpang Mamplam, dari kejauhan mereka terkejut melihat para pejuang sedang mengumpulkan senjata.

Namun, para pejuang tidak menyadari ada sepasukan Marsose dari arah Jeunieb mengincar mereka. Dalam posisi siap, puluhan serdadu meletupkan senapan ke arah pejuang. Delapan di antara dua puluh pejuang tertembak. Belasan lainnya lolos.

Geram melihat 24 temannya mati, Marsose memotong-motong jasad para pejuang syahid itu dan menguburnya dalam satu liang. Setelah Marsose pergi, rakyat mengumpulkan potongan-potongan jasad. Para syuhada dimakamkan dalam delapan kuburan terpisah.

Merujuk pada jumlah kuburan tersebut, lokasi itu sekarang dikenal sebagai makam Syahid Di Lapan atau Syuhada Delapan. Letaknya di Desa Keude Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam, Bireuen.

Cerita itu dituturkan Teungku Muhammad Juned, 80 tahun, bilal Musala Syuhada Delapan. Setahu Muhammad dari cerita orang-orang tua dulu, lima jenazah Marsose yang tewas di lokasi itu dibawa ke Banda Aceh. Sisanya dikubur di sekitar lokasi makam Syahid Di Lapan. “Tetapi, di mana lokasi dikuburnya tentara Marsose itu tidak ada yang tahu,” ujar Muhammad Juned, Sabtu 28 Juli 2012.

Kini makam Syahid Di Lapan kerap didatangi orang yang bernazar. Bukan hanya Bireuen, melainkan juga dari daerah lain di Aceh. Biasanya warga menunaikan nazarnya pada hari libur. Mereka menyembelih kambing atau sapi.

Seingat Muhammad yang sudah dua puluh tahun menjadi bilal di sana, lebih dari seratus warga atau keluarga pernah bernazar di makam itu. Terlebih pada tahun baru Muharam. “Keluarga yang melepas nazar ada yang membawa tukang masak, ada yang minta bantu warga sekitar dengan sedikit imbalan,” ujarnya.

Di dinding sebelah depan bangunan makam tertulis ulasan singkat asal usul makam. Ulasan itu persis seperti yang diceritakan Teungku Muhammad. Di antara tulisan terdapat nama-nama para pejuang Aceh. Mereka adalah Teungku Panglima Prang Rajeuk Djurong Binjee, Teungku Muda Lem Mamplam, Teungku Nyak Bale Ishak Blang Mane, Teungku Meureudu Tambue, Teungku Bale Tambue, Apa Syehk Lancok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang Salem Blang Teumulek.

Di kompleks makam ada pohon sala teungeut berdiameter sekitar 1,5 meter. Empat cabangnya menjuntai menaungi kompleks makam seluas 40 x 12 meter. Satu cabang menjuntai ke sisi timur makam di atas lapak-lapak penjual makanan. Satu lagi memanjang hingga di atas gerbang musala Teungku Syahid Lapan di seberang jalan. Pohon itu ditanam oleh tentara Belanda pada 1905.

“Dinamakan ‘sala teunget’ karena pada pukul 18.00 WIB daunnya menguncup mengikuti senja datang dan kembali mekar esok hari,” ujar Muhammad.

Pohon itu, kata Muhammad, pernah akan dipangkas kontraktor pelebaran jalan pada 1980-an. Mereka membayar Rp 3 juta kepada warga yang mau memangkas satu dahan pohon besar di makam itu yang menjuntai ke jalan. “Namun hingga jalan selesai, tidak ada warga yang berani memangkas,” ujar Muhammad.

Satu meter arah selatan makam dibangun tempat salat hajat bagi yang bernazar. Ruangan salat berkonstruksi beton. Atapnya berbentuk kupiah meukeutôp. Pintu ruangan salat hajat tertutup bentangan dua helai kain hijau kumal.
Arah barat ruang salat hajat terdapat bangku dan meja panjang. Ini tempat duduk peziarah yang menunaikan nazar memotong sapi atau kambing di kompleks makam itu.

Kini sekeliling kompleks makam di pagar teralis besi. Kotak sumbangan diletakkan di tengah sebelah depan makam. Dulunya kotak sumbangan berupa tabung besi panjang diberi lubang dan ada belahan yang dapat dikunci. Usai dipugar sekitar 2008, kotak sumbangan diganti dengan kubus beton setinggi satu meter.

Banyak pengendara mobil dan sepeda motor singgah untuk bersedekah. Ada juga pengendara yang singgah untuk salat di Musala Syuhada Delapan. Sekitar 2008, situs sejarah itu dipugar dengan dana sumbangan pengguna jalan. Di makam itu tersisa kepingan sejarah, pernah ada delapan pejuang yang berani mengusir Belanda dari Aceh.

AP