Monday, February 14, 2011

Pesona Tersembunyi dari Keraton Ratu Boko


1347443859869626884

Sumber Kidnesia.com


Keraton Ratu Boko, Bangunan Yang Menyatu Dengan Alam

Apabila Anda berkunjung ke Jogja, kira-kira tiga kilometer arah selatan dari Candi Prambanan, berdirilah sebuah kompleks bangunan arkeologis yang wajib untuk dikunjungi. Terletak pada ketinggian 196 meter di atas permukaan laut, kompleks bangunan yang tersusun dari batuan andesit ini sangat menarik untuk dinikmati. Latar belakang Gunung Merapi menjulang tinggi di sisi utara dan perbukitan yang diselingi dengan sawah menghijau di sekelilingnya menambah dramatis suasana yang disuguhkannya. Dengan bentuk arsitektur yang menawan, di mana sentuhan unsur Budha dan Hindu bersanding saling mengisi satu sama lain, menyiratkan sebuah harmoni. Kompleks bangunan ini disebut dengan Keraton Ratu Boko.

Dengan luas sekitar 250.000 meter persegi, Keraton Ratu Boko merupakan salah satu maha karya arsitektural bangsa Indonesia pada jaman dahulu. Keteraturan dalam penataan bentuk fisik dan fungsi suatu bangunan, serta keseimbangan dengan alam sekitarnya merupakan prinsip yang mendasari pembangunan Keraton Ratu Boko. Kompleks Keraton Ratu Boko yang dibangun mengikuti kontur perbukitan ini, sehingga kita harus sedikit mengeluarkan tenaga ekstra saat menjelajahinya, terbagi ke dalam empat bagian, yaitu bagian barat, bagian tengah, bagian timur, dan bagian tenggara.

Sejauh mata memandang, bagian barat merupakan suatu perbukitan yang dipenuhi pepohonan. Bagian tengah diisi oleh gapura utama berbentuk paduraksa dengan pintu utama yang diapit oleh dua pintu pendamping. Untuk memasukinya, kita harus menaiki anak tangga yang relatif cukup tinggi. Kemudian, lapangan rumput yang menghijau terhampar luas, Candi Pembakaran yang juga disebut sebagai candi batu putih karena memang tersusun dari batu gamping, kolam, batu berumpak, dan Paseban yang berfungsi sebagai ruang tamu untuk menghadap raja kala itu. Sementara itu, bagian timur meliputi kompleks Gua Lanang dan Gua Wadhon yang dulu dibuat dengan cara melubangi batuan sedimen Breksi Pumis, stupa Akshobya, dan kolam. Pendopo, bala-balai, tiga candi kecil, kolam, dan kompleks Keputren berdiri di bagian tenggara.

Keraton Ratu Boko: Hasil dari Harmoni Dua Agama

Alih kepemilikan kompleks Keraton Ratu Boko dari satu tangan penguasa ke tangan penguasa yang lain turut andil dalam memberikan warna tersendiri bagi bangunan ini. Seiring berjalannya waktu, Keraton Ratu Boko melengkapi dirinya dengan tambahan karya-karya arsitektural yang memukau. Sejarah mencatat setidaknya ada dua raja pernah menguasai tempat ini. Kompleks bangunan ini pertama kali dibangun oleh seorang Raja Mataram Kuno yang berasal dari Dinasti Syailendra, Rakai Panangkaran yang beragama Budha antara tahun 746-784 masehi.

Disebutkan bahwa raja itu mengasingkan diri untuk menemukan kedamaian abadi dengan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa di suatu bukit bernama Abhayagiri Vihara. Abhaya berarti tidak ada bahaya, Giri mempunyai arti bukit atau gunung, dan Vihara berarti asrama atau tempat. Secara harfiah, kata tersebut mengandung pengertian suatu asrama atau tempat para bhiksu yang terletak di atas bukit yang penuh dengan kedamaian. Peninggalan bercorak Budha, yaitu stupa Akshobya ditemukan di depan Gua Lanang yang terdapat symbol Lingga di dalamnya. Dalam catatan sejarah lain, keturunan Rakai Panabwara meneruskan kekuasaan ayahandanya di tempat itu. Peninggalan yang masih terlihat dari raja itu adalah tulisan “Panabwara” yang merupakan nama Raja Rakai Panabwara yang terukir pada gapura Keraton Ratu Boko.

Pada periode berikutnya, Abhayagiri Vihara berubah menjadi Keraton Walaing, mengikuti nama Raja Rakai Walaing pu Kumbhayoni yang menguasai tempat tersebut pada tahun 856-863 masehi. Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Prasasti Mandyasih. Berlatar belakang agama Hindu, beliau menambahkan elemen Hindu pada kompleks bangunan tersebut. Maka tidaklah mengherankan apabila di sana ditemukan tiga candi kecil, Lingga dan Yoni, patung Dewi Durga dan Ganesha. Lempengan emas yang bertuliskan “Om Rudrayanamahswaha” sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain dari Dewa Siwa turut melengkapi elemen Hindu di Keraton Ratu Boko. Perpaduan apik antara elemen Budha dan Hindu yang terbentuk dalam karya arsitektural seolah menegaskan adanya toleransi umat beragama kala itu.

Setelah sekian lama terkubur oleh pepohonan dan semak belukar, reruntuhan kompleks tersebut ditemukan pertama kali oleh Van Boeckholtz pada tahun 1790. Seabad kemudian, tepatnya tahun 1890, FDK Bosh mengadakan riset arkeologis tentang kompleks peninggalan tersebut. Ia membuat laporan tentang penemuan kepurbakalaan itu dengan judul Kraton Van Ratoe Boko. Kondisi kompleks Keraton Ratu Boko yang rusak parah kemungkinan besar terjadi karena faktor alam seperti yang dialami oleh bangunan besar monumental lainnya, yaitu Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Pergeseran sistem kepercayaan penduduk sekitarnya juga membuat Kompleks Keraton Ratu Boko seolah “diacuhkan” selama ratusan tahun.

1347444546774214102

Sumber: apcinstitute.files.wordpress.com

Bodichitta, Ajaran Luhur yang lahir di Keraton Ratu Boko

Apabila Anda berpikir bahwa hal yang paling menarik dari Keraton Ratu Boko adalah suasana sunset yang ditawarkan di sana, maka Anda harus berpikir ulang mengenai hal itu. Dibalik kemegahan bangunan dan keindahan suasananya, Keraton Ratu Boko ternyata menyimpan suatu ajaran luhur yang berakar dari hasil pemikiran asli Rakai Panangkaran, seorang raja dari Dinasti Syailendra yang memakzulkan diri dari kehidupan duniawi. Ia mengembangkan ajarannya di Abhayagiri Vihara, bentuk paling awal dari kompleks bangunan Keraton Ratu Boko yang telah disebutkan sebelumnya. Ajaran ini selanjutnya dalam Budhisme disebut Bodichitta.

Dalam ajaran Budha, Bodichitta merupakan suatu kondisi jiwa pencerahan yang tercermin ke dalam setiap tindakan dan komitmen untuk secara terus-menerus menyebarkan cinta kasih dan menghidupkan kepedulian terhadap penderitaan orang lain di dalam diri. Inti ajaran ini adalah sikap altruistik yang harus dimiliki setiap manusia untuk lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri. Dalam kaitannya mengapa Keraton Ratu Boko sempat dinamai Abhayagiri, juga karena Rakai Panangkaran berhasil menghembuskan ruh ajaran luhur tersebut ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat kala itu. Rakyatnya mempunyai budi pekerti yang luhur, sehingga kondisi aman, tertib dan teratur dapat tercipta di tempat itu.

Konon, gema ajaran luhur Bodichitta menarik perhatian seorang pandita yang berasal dari daerah perbatasan India dan Bangladesh bernama Atisha. Selama belajar dengan Dharmakirti, seorang maha pandita Agama Budha di Kerajaan Sriwijaya, Atisha juga menyempatkan diri berkunjung ke Pulau Jawa, di mana bangunan-bangunan megah yang mengandung inspirasi spiritual yang mendalam berdiri, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Keraton Ratu Boko itu sendiri. Setelah belajar selama 12 tahun di Sumatera, Atisha membawa ajaran Bodichitta ke Tanah Tibet untuk disebarluaskan, dan sampai saat ini ajaran tersebut masih diajarkan oleh Dalai Lama kepada para muridnya di seluruh penjuru dunia.

Kemegahan suatu bagunan tidak hanya terletak pada keindahan ornamen-ornamen arsitektural saja, tapi juga terletak pada “suatu spirit agung” yang melekat pada suatu bangunan tersebut. Pesan inilah yang sejatinya perlu kita tangkap dari keberadaan Keraton Ratu Boko sebagai warisan peninggalan nenek moyang kita. Keraton Ratu Boko bukan hanya onggokan bebatuan yang tidak berarti, tetapi merupakan suatu inspirasi bagi kita untuk hidup harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, serta alam sekitar yang tercermin dari bentuk fisik bangunan dan ajaran luhur untuk menjadi “manusia seutuhnya” seperti apa yang pernah lahir di tempat itu.

Sebagai manusia Indonesia, patutlah kita berbangga bahwa kita memiliki suatu ajaran luhur yang lahir dari hasil olah pikir nenek moyang kita yang pernah hidup di Keraton Ratu Boko. Namun kebanggaan itu tidak akan berarti apa-apa apabila kita tidak mampu mengaplikasikannya pada tindakan nyata. Pada dasarnya, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Bodhicitta juga ditemukan dalam ajaran agama manapun yang mengajarkan kasih sayang terhadap sesama, maka bukan merupakan suatu alasan bagi kita untuk tidak dapat mengaplikasikannya karena latar belakang religi yang berbeda. Aplikasi ajaran kasih sayang terhadap sesama sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang tengah bergelut dengan masalah mati surinya toleransi.

*Diolah dari berbagai sumber

Anjas Prasetiyo