Ketika Tempo berkunjung ke kediamannya, Kamis, 29 Agustus 2012, lelaki yang biasa disapa Kang Jalal ini bercerita soal Syiah di Indonesia. Mulai dari proses penyebaran, konflik, cara beribadah, hingga ancaman yang kerap diterima pengikut Syiah. Dan inilah hasil perbincangan wartawan Tempo: Choirul Aminuddin, Erwin Zachri, Cornila Desyana, dan Praga Utama dengan Ketua Dewan Syuro ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia itu.
Kapan kali pertama Syiah masuk Indonesia?
Tak ada yang tahu pasti. Karena tidak pernah ada sejarah yang mencatatnya. Tapi saya duga, Islam yang pertama kali masuk ke Aceh sekitar abad ke-8, atau waktu Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, orang Hadramaut dari Arab masuk ke Aceh untuk berdakwah. Tapi mereka tak menunjukkan dirinya Syiah. Melainkan ber-taqiyah (berpura-pura) menjadi pengikut mahzhab Syafii. Karena itu secara kultur, Nahdlatul Ulama adalah Syiah. Tapi tak pernah ada sejarah yang merekam jejak mereka. Jadi dianggapnya tak ada Syiah di kala itu. (Baca juga: Penyebaran Syiah di Aceh )
Kenapa mereka berpura-pura menganut mahzab Syafi”i?
Mereka tetap orang Syiah. Tapi di luarnya mempraktikkan mahzab Syafii. Tujuannya untuk melindungi diri dari serangan.
Apa yang membuat Anda yakin Syiah sudah masuk Indonesia kala itu?
Anda bisa lihat dari beberapa tradisi di Indonesia. Tabot misalnya. Tradisi itu kerap dilakukan masyarakat Bengkulu pada 1 hingga 10 Muharram, tiap tahunnya. Tak kurang dari seribu orang mengikuti tabot. Mereka melakukan drama kolosal yang mengenang tragedi pembantaian keluarga nabi dan tewasnya Imam Hussein di Karbala.
Awalnya, tradisi itu diperkenalkan saudagar India yang kapalnya terdampar di Bengkulu. Tapi warga tak tahu jika tabot adalah tradisi Syiah. Sampai sekarang pemerintah dan warga Bengkulu tetap menggelar tabot, meski mereka bukan Syiah.
Pada penyebaran gelombang kedua, Syiah masuk sekitar 1982. Berawal dari revolusi Islam di Iran pada 1979-1980-an. Yakni peristiwa perebutan kekuasaan di Iran dari pemerintahan otokrasi, Mohammad Reza Shah Pahlavi, oleh ulama tua, Ayatullah Rohullah Khomeini. (Baca juga: Syiah Berkembang di Indonesia Pascarevolusi Iran)
Mahasiswa yang dilarang berkegiatan sosial oleh pemerintah, kembali ke masjid. Mereka mengulas buku-buku revolusi Iran, mengenal Syiah, mempelajari ideologi serta filosofinya. Kemudian muncullah Syiah di kalangan pelajar yang berpusat pada masjid kampus.
Kelompok Syiah pertama kali muncul di daerah mana?
Di Bandung. Lalu Syiah masuk ke HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan mulai tersebar ke kampus di daerah lain. Aktivis HMI menyebarkan ajaran Syiah secara sistematis. Yakni melalui pelatihan kepemimpinan.
Belum. Bahkan masyarakat tak merisaukan kesibukan mahasiswa yang mempelajari Syiah. Sebab mereka tak membicarakan soal fiqih. Jadi hanya dianggap sebagai gerakan intelektual.
Pada gelombang ketiga. Waktu orang-orang sudah mengerti ideologi dan filofosi Syiah. Kemudian mereka ingin mengenal Syiah dari segi fiqih. Mereka belajar dari habib yang pernah belajar di Khum, Iran. Karena sudah masuk ke ranah fiqih, muncullah perbedaan paham. Dan timbullah benih konflik.
Tidak. Ada gelombang keempat, ketika orang Syiah mulai membentuk ikatan. Misalnya Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia, IJABI. Berdiri 1 Juli 2000, IJABI merupakan organisasi massa yang diakui keberadaannya oleh Kementerian Dalam Negeri.
CORNILA DESYANA