Friday, February 11, 2011

Cerita di balik muslimah di Amerika yang mengenakan hijab dan niqab

 http://img.dailymail.co.uk/i/pix/2007/11_02/muslimDM1511_468x310.jpg
Saat Anda memandang Aliya Naim ataupun Nadia, mereka tidak ingin Anda memandang mereka sebagai objek keindahan/kecantikkan, mereka juga tidak menginginkan Anda melihat kaum wanita terbatasi oleh standard-standard sosial. Bahkan sebaliknya, mereka berkata, mereka ingin dinilai dari intelektualitas dan kepribadian mereka. Menurut mereka itulah alasan mengapa mereka tidak menunjukkan (aurat-red) mereka secara berlebihan.

Kedua wanita Muslim Amerika itu menutup diri mereka dari ujung kaki sampai kepala untuk menunjukkan ketaatan mereka terhadap keyakinan mereka dalam kerendahan hati dan kesederhanaan. Seperti kebanyakan wanita Muslim yg menutup aurat mereka, mereka melakukannya di depan para pria yg bukan anggota keluarga dekat/langsung (mahrom). Aliya, seorang pelajar Universitas Georgia berusia 20 tahun, mengenakan hijab (jilbab) atau penutup kepala. Ia juga mengenakan pakaian yg menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian wajah dan telapak tangannya, jenis pakaian yg memang biasanya dikenakan bersamaan dengan hijab (jilbab). “Anda mungkin sering melihat dalam banyak lingkungan sosial, para wanita dinilai dari penampilan mereka atau bahkan direndahkan,” katanya. Hijab, menurutnya, membantu “mendorong/memaksa orang-orang di sekitarnya untuk mau tidak mau mengalihkan pandangannya dari penampilan fisik kami”. Nadia (yg meminta nama belakangnya untuk tidak disebutkan), menutup sebagian besar bagian tubuhnya, bahkan telah melangkah lebih jauh lagi dengan menutup wajah -kecuali bagian mata-nya, dengan selembar kain yg disebut niqab (cadar). Ibu 25 tahun yang memiliki 2 anak ini tidak melakukannya sebagai kewajiban yg diperintahkan dalam Islam. Tetapi ia menganggap ini sebagai sesuatu yg membawanya lebih dekat kepada Tuhan.

Quote:
“Saat Anda mencintai seseorang, Anda ingin selalu menyenangkannya,” ujarnya. “…Anda akan melakukan segala yang Anda bisa, ingin berbincang lebih banyak dengannya, ingin tahu lebih banyak tentangnya dan hal itulah yg saya rasakan terhadap Pencipta saya.”
Sampai saat ini belum ada catatan pasti mengenai angka wanita muslim Amerika yg mengenakan hijab atau niqab, namun ada beberapa pendapat yg menyatakan telah terjadi peningkatan sejak terjadinya serangan 11 September 2001, seiring dengan keinginan untuk menunjukkan identitas mereka menentang gerakan sentimen anti-muslim yg tengah marak.

Setelah terjadinya serangan 11 September, menurut Yvonne Haddad, seorang profesor dari Universitas Georgetown, banyak wanita Muslim menjadi juru bicara bagi agama mereka. “Para wanita seakan telah menjadi spanduk/panji bagi Islam,” menurut Haddad, salah seorang penulis dalam Muslim Women in America: The Challenge of Islamic Identity Today. “Selendang (hijab) kecil itu berkata, ‘Aku adalah Muslim, dan aku ada di sini.’” Aliya, yg diajarkan oleh orang tuanya tentang kewajiban menutup aurat adalah bagian dari Islam, memutuskan untuk mengenakan penutup aurat pada usia 12 tahun, namun ia melakukannya karena itu telah menjadi pilihannya. Menurutnya hal itu membantunya untuk tidak terfokus pada berat badan dan penampilan, seperti yg dialami oleh teman-temannya yg tidak mengenakan hijab. Ia tidak mengalami banyak kesulitan dari teman-teman sebayanya saat ia remaja dan saat di sekolah menengah dengan hijabnya itu. Ia juga merasa bahwa ia harus menunjukkan identitas dan memerangi setereotip tentang Islam setelah serangan 9/11. Lain halnya dengan Nadia yg memutuskan untuk mengenakan hijab saat ia kuliah. Ia mengatakan ia memutuskan mengenakan hijab setelah belajar lebih jauh tentang Islam saat ia kuliah dan menumbuhkan keyakinannya lebih jauh lagi. Satu tahun setelah ia mengenakan hijab, ia menambahkan niqab dalam berpakaian. Ia memutuskannya setelah berbincang dengan para wanita yg telah mengenakannya lebih dulu. “Setelah saya mengenal mereka [para wanita itu], saya mengerti bahwa mereka tetap wanita yg terpelajar, mereka tetap memiliki hidup mereka sepenuhnya dan mereka memiliki karakter mereka masing-masing,” ujarnya. “Tidak ada yg hilang sedikitpun dari diri mereka. Tapi ada sesuatu yg justru bertambah dalam diri mereka, yaitu meningkatnya kecintaan mereka terhadap Sang Pencipta.” Menurutnya hal ini bertentangan dengan kebanyakan kesalahpahaman yg terjadi, anggapan bahwa wanita Muslim dipaksa untuk menutup auratnya, suami mereka, yg muallaf, tidak ada hubungannya dengan keputusan mereka. Bahkan ini dianggap sebagai kejutan dengan mendorong istrinya untuk mengenakan penutup aurat.

Larangan dan serangan balik

Beberapa waktu lalu, parlemen rendah Perancis mengeluarkan larangan terhadap penggunaan kerudung yg menutupi wajah termasuk niqab dan burqa -sejenis cadar yg di tambah sejenis jaring pada bagian mata- di depan umum. Menyusul kemudian Kementerian Pendidikan Tinggi Suriah/Syria, yang memberlakukan pelarangan penggunaan niqab di semua universitas di negara yang berpenduduk Muslim itu. Mereka telah melakukan pelarangan penggunaan hijab beberapa tahun sebelumnya. Pemerintah Turki telah melakukan pelarangan serupa sejak tahun ‘80an, tapi baru benar-benar diterapkan secara ketat tahun 1997.

Pada tahun 2004, Perancis menerapkan pelarangan penggunaan simbol-simbol keagamaan termasuk hijab, di sekolah dasar dan menengah. Walaupun wacana larangan serupa belum ada di Amerika Serikat, namun Nadia telah merasakan efek dari sentimen anti-menutup aurat tersebut di lingkungannya, Lilburn, Georgia. Ia mengungkapkan bahwa ia pernah di tolak saat akan masuk ke sebuah toko grosir dan di usik secara verbal oleh orang tak di kenal. Suatu hari saat ia tengah mengisi bahan bakar mobilnya, tiba-tiba sebuah mobil menepi dan berhenti tepat di depan mobil miliknya, lalu seorang pria di dalamnya mengambil gambarnya secara close up. Kemudian Nadia melihat pria itu kembali memacu mobilnya dan melihat sebuah iklan besar sebuah situs internet bertuliskan trickledownterrorism.com, pada kendaraan pria tersebut. “Saya merasa sangat terganggu dan menangis, saya berpikir mengapa mereka melakukan hal-hal semacam itu?” ungkap Nadia. Ia sering menjumpai orang-orang yang mengatakan bahwa caranya berpakaian bukan cara sebagaimana orang Amerika berpakaian, oleh sebab itu ia harus menanggalkan kepercayaan asingnya tersebut. Sebagai seorang Afrika-Amerika yang terlahir dan tumbuh besar di Amerika, sangat sulit untuk menerima pendapat semacam itu. “Saya pernah berkata kepada seseorang di sebuah toko, ‘Saya berasal dari ibukota negara ini, nyonya. Maaf bila anda merasa seperti itu, tetapi tolong berhenti mengatakan bahwa kita tidak melakukan hal semacam ini di sini, karena saya berasal dari sini dan saya ada di sini. Keluarga saya tumbuh di sini, saya tinggal di sini… Mungkin Anda tidak melakukannya di sini tetapi kami melakukannya di sini.’”

Sementara Aliya selain masih sering mendapatkan tatapan dan dipandang secara keliru oleh umum, ia juga merasakan sisi positif dengan ia menutup auratnya, termasuk kesempatan untuk memberikan pemahaman tentang agamanya dan menjawab pertanyaan–pertanyaan konyol yang pernah dilontarkan kepada dirinya. “Saya rasa satu pertanyaan yang menggelitik saya, ketika seseorang pernah bertanya ‘apakah Anda mandi dgn mengenakan itu?’. Saya jawab, ‘apakah Anda mandi dgn pakaian Anda? Saya rasa itu dapat menjawab pertanyaan Anda.’” Suatu ketika di sebuah taman nasional, seorang anak kecil mendekatinya dan mengatakan bahwa ia mirip tokoh Padme dalam film Star Wars. Sampai saat ini Aliya masih tertawa bila mengingatnya, ujarnya.

Kesalahpahaman

Aliya dan Nadia sepakat bahwa yg terberat adalah menghadapi asumsi yg salah tentang kepercayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa kekeliruan umum yg paling sering adalah pandangan bahwa mereka tertindas dan orang menganggap agama mereka menempatkan wanita sebagai jajahan kaum laki-laki. Contoh paling dekat adalah pernyataan presiden Perancis Nicolas Sarkozy mengenai penggunaan burqa yg menurutnya sebagai “tanda sikap tunduk…tanda yg merendahkan,” beberapa waktu lalu. Nadia tidak sepakat mengenai pendapat itu. “Saya belum pernah sekalipun melihat seseorang bertanya kepada wanita Muslim dan merasa tertindas, atau merasa tertindas dan terkekang karena menggunakan penutup aurat, atau mereka merasa tertindas di rumah mereka.” Aliya mengatakan jika seorang wanita tertekan, itu karena budaya dan orang-orang disekitarnya yg membuatnya seperti itu, bukan Islam.
Quote:
“Nabi Muhammad SAW, shalawat serta salam baginya, mengatakan bahwa wanita adalah separuh bagian dari laki-laki. Juga dari banyak yang pernah saya baca dan penelitian mengenai Islam, betapa besar nilai wanita dalam ajaran dan pandangan Islam.”
Tambahnya. Aliya mengatakan bahwa ia belum pernah menemui seorang wanita muslim Amerika yg mengatakan bahwa ia dipaksa untuk mengenakan hijab atau niqab. “Justru sebaliknya saya justru banyak menemui wanita muslim Amerika yg mengenakan hijab bertentangan dgn kemauan orang tua mereka bukan mengenakannya karena diminta oleh orang tuanya.” ujarnya. Untuk pembanding, di Iran semua wanita diwajibkan mengenakan hijab di muka umum, sementara di Arab Saudi, semua wanita Muslim diharuskan mengenakan hijab di muka umum.

Melangkah kedepan

Meskipun banyak pengalaman pahit yg menyakitkan di depan umum, Nadia tetap mengenakan niqab dan merasakan perbedaan yg jelas tentang bagaimana para pria memandangnya sekarang dibandingkan saat ia masih mengenakan kaos cekak dan celana ketat. Aliya juga merasakan bahagia dgn mengenakan hijab. “Aku pikir, jelas adanya bahwa yg terpenting adalah apa yg ada dalam hati kita,” ujarnya. “Dan penampilan luar Anda sudah seharusnya menjadi manifestasi atau pengejawantahan dari kepribadian Anda tersebut, bukan penyamaran dari apa yg sesungguhnya Anda pikir, rasakan dan yakini.”


http://forum.vivanews.com/showthread.php?t=27150