Tuesday, February 1, 2011

Peraturan Nikah Pemerintahan Hindia Belanda

Peraturan Nikah Pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah tahun 1860, terjadi kolonisasi besar-besaran di daerah Sumatera Bagian Timur. Hal ini disebabkan oleh dibukanya perkebunan di daerah tersebut dan banyak orang Belanda dan Eropa bekerja disana. Hal ini mengakibatkan adanya perbandingan yang tidak seimbang antara pria Belanda dan Eropa dengan para wanita pada masa itu. Oleh sebab itu, perusahaan ditempat mereka berkerja diminta oleh pemeritahan Hindia Belanda untuk membuatkan aturan nikah. Aturannya adalah seorang asisten perkebunan Belanda yang baru, setelah melaksanakan tugas dinasnya selama 6 tahun secara terus-menerus baru dapat izin untuk menikah. Para Direksi perusahaan berpendapat bahwa seorang asisten perkebunan, selain bertanggung-jawab terhadap perkerjaannnya, ia juga memikul beban dan bertanggung-jawab mengurus isteri dan anak-anaknya. Baru tahun 1922, keluar hukum yang baru tentang pernikahan yang tidak mengikat dengan kontrak kerja.
Kekurangan wanita-wanita Eropa menyebabkan terjadinya ikatan antara pria-pria Belanda dan Eropa dengan wanita pribumi (Inlander) yang jarang menuju jenjang perkawinan tetapi melalui pergundikan. Sampai tahun 1940, pergundikan dikalangan pengusaha perkebunan dianggap hal biasa dan lumrah. Para wanita Jawa didatangkan dan dikontrak. Mereka ditugaskan untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan memuaskan kebutuhan biologis majikan. Bila dalam hubungan ini terjadi anak, maka wanita Jawa dapat dituduh memang dilakukan dengan sengaja.
Anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut, oleh orang Belanda dan Eropa disebut Voorkinderen (anak-anak sebelumnya). Si Nyai dan anaknya dikirim ke luar rumah. Sesudah tahun 1915, anak-anak yang lahir dari hubungan demikian dapat ditampung di “Bala Keselamatan” yang tujuan awalnya memang didirikan untuk menampung mereka. Terkadang anak ini dibawa oleh bapaknya pergi ke Eropa dan tidak kembali lagi. Seorang anak yang ikut bapaknya ke Eropa menjadi bukti bahwa kehidupan bapaknya dahulu yang lepas kendali di Nusantara ini. Mereka yang ikut pindah dengan bapaknya ke Eropa, mereka menjadi warga negara di Eropa keturunan Indonesia dan kenyataannya saat ini Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) sedang mencari para pemain naturalisasi di Eropa untuk dijadikan skuad Timnas PSSI.
Bagi para petinggi militer dan pedagang tidak ada aturan dalam menikah. Mereka akan memilih wanita dari darah campuran atau perempuan Indo. Karena itu, selain terdapat kultur pribumi juga terjadi percampuran kultur orang kulit putih dan orang kulit coklat. Dalam kultur dan kebudayaan ini, pakaian Eropa seperti korset dan rok tidak dipakai lagi. Akan tetapi digantikan dengan sarung kebaya yang lebih mudah dipakai. Seorang pria Indo dan wanita Indo yang disebut juga Indo-Europeaan menerima kebudayaan di Nusantara dengan mudah. Dalam kebudayaan Indo-mestis kultur, peranan wanita Indo sangat menentukan. Bila ia menikah dengan seorang pria Belanda totok, mereka tetap melakukan kebiasaan pribumi seperti biasanya dan terpisah dari kebiasaan suaminya yang ala Eropa.
Dedi Asmara / dari berbagai sumber