Friday, February 4, 2011

Lamnga, Gampong Seribu Nisan Syuhada




LAMNGA PASI, demikian biasa orang menyebut nama gampong itu. Desa yang terletak di pesisir Kabupaten Aceh Besar dan berjarak 12 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh itu, memiliki catatan sejarah besar dalam membantu perjuangan masyarakat Aceh melawan penjajah.

Bak Negeri Mesir yang dikeliling oleh sungai Nil. Desa Lamnga juga dikelilingi oleh sungai kecil serta dihubungkan oleh dua jembatan.

Ada banyak para syuhada yang terkubur disana. Ribuan nisan tak bernama juga terlihat di tiap sudut gampong Lamnga. Tanpa ada kalung bunga, serta dipugar indah seperti layaknya makam para pahlawan nasional lainnya di nusantara.

“Dulu, Lamnga memang medan perang. Banyak makam para syuhada yang dikuburkan disini. Jumlahnya mencapai ribuan,” ujar Sekretaris Desa Lamnga, M Ali Ibrahim, kepada The Atjeh Post, yang bertandang ke gampong tersebut, Minggu 2 September 2012.

Menurutnya, sejak dulu Desa Lamnga adalah tempat kedudukan para uleebalang. Pada masa Kerajaan Aceh Mukim XXVI Lamnga Aceh Besar adalah daerah bibeuh (bebas langsung) di bawah sultan. Wilayahnya mencakup hingga Mukim Ie Meule Sabang (Pulau Weh-red). Mukim Lamnga berada di pesisir pantai Kecamatan Krueng Raya.

Daerah ini juga sering dijadikan sebagai benteng pertahanan dari serangan Belanda yang coba mendarat dari laut. Selama ratusan tahun, warga Lamnga mencoba melawan Belanda serta mempertahankan kedaulatan kesultanan Aceh.

Sejumlah panglima perang Aceh juga lahir dan di didik di Lamnga Pasi. Nama-nama pahlawan ini, seperti Teuku Ibrahim Lamnga, suami Cut Nyak Dhien pertama, Panglima Teuku Nyak Makam, Teuku Muda Ahmad bin Teuku Haji Bayan, Teuku Haji Imam Mansur, Teuku Haji Bayan bin Teuku Imam Mansur, Teuku Di Mesjid, dan Teuku Ibrahim Ujong Aron.

Kuburan panglima ini terdapat di sisi kiri mesjid Lamnga, kecuali Teuku Ibrahim Lamnga, yang dikuburkan di Desa Lamnga Montasik, Aceh Besar. Mesjid yang hancur itu baru saja direhab pasca tsunami menerjang Aceh pada 24 Desember 2012 lalu.

Sedangkan ribuan syuhada yang gugur dalam pertempuran Belanda di kuburan secara terpisah dan menyebar di pelosok kampung.

“Saking banyaknya nisan, masyarakat Lamnga sedikit mengalami kesulitan saat membangun rumah dan bercocok tanam. Pasalnya, mereka dengan terpaksa harus memindahkan nisan-nisan tersebut ke tempat lain,” kata Sekdes itu.

Besar harapan pihaknya, lanjut dia, perjuangan masyarakat Lamnga tersebut dapat dicatat para sejarah dan dikenang oleh masyarakat Aceh. “Selain itu, kita juga sangat berharap makam-makam ini dapat dipugar layaknya makam pahlawan lainnya,” kata M Ali lagi.

Sementara itu, Yusuf, warga Lamnga lainnya juga menambahkan bahwa Desa Lamnga juga dikenal dengan sebutan Lamnga Segepoh. Kata Segepoh sendiri dilekatkan karena banyaknya serdadu kafir yang dibunuh ( bahasa Acehnya poh-red) di tempat itu.

“Dulu, perkampungan sendiri, letaknya di area tambak sekarang. Lokasinya lebih rendah. Namun kata orang tua dahulu, karena adanya bencana Ie Beuna yang menerjang saat itu, mengakibatkan warga Lamnga naik ke bukit dan membangun rumah diantara kuburan syuhada. Bukit itu, adalah Desa Lamnga yang sekarang,” ujar Yusuf.[]

MURDANI ABDULLAH | Foto : MURDANI ABDULLAH AP